BAB I
PENDAULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Saat ini hampir setiap sektor usaha yang akan didirikan, dikembangkan dan diperluas ataupun dilikuidasi selalu didahului dengan satu kegiatan yang disebut studi kelayakan. Kekeliruan dan kesalahan dalam menilai investasi akan menyebabkan kerugian dan resiko yang besar. Penilaian Investasi termasuk dalam studi kelayakan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya keterlanjuran investasi yang tidak menguntungkan karena usaha yang tidak layak atau feasible.
Studi Kelayakan Bisnis menuntut kita untuk mengaplikasikan beberapa mata kuliah lain secara integral kedalam suatu kancah riset  atau penelitian secara ilmiah, khususnya dalam rangka meneliti kelayakan suatu proyek bisnis. Jadi ada tujuan ganda dalam mempelajari mata kuliah ini, yaitu sisi teori dan sisi prakteknya. Tingkat kerumitan, kedalaman dan kompleksitas studi kelayakan bergantung pada objek kajian itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, bentuk studi kelayakan disesuaikan dengan tujuan dan kepentingan untuk apa studi kelayakan dibuat. Studi Kelayakan mempunyai arti penting bagi perkembangan dunia usaha. Beberapa proyek gagal di tengah jalan, bisnis yang berhenti beroperasi, dan kredit yang macet di dunia perbankan, serta kegagalan investasi lainnya merupakan bagian dari tidak diterapkannya studi kelayakan secara konsisten. Studi kelayakan yang diterapkan secara benar akan menghasilkan laporan yang komprehensif tentang kelayakan proyek atau bisnis yang akan didirikan atau dikembangkan atau didanai dan kemungkinan-kemungkinan resiko yang akan dihadapi atau terjadi.
Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit (terutama minyak sawit) mempunyai peran yang cukup strategis. Pertama, minyak sawit merupakan bahan utama minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinu ikut menjaga kestabilan harga minyak goreng. Ini penting, sebab minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat sehingga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas, komoditas ini memiliki prospek yang baik sebagai sumber perolehan devisa maupun pajak. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Soetrisno dan Winahyu, 1991).
Pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditas perkebunan selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah dalam bentuk Perkebunan Besar Negara (PBN) maupun oleh perusahaan swasta dalam bentuk Perkebunan Besar Swasta (PBS). Pada masa kolonial Belanda, perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa alasan, mengapa perkebunan kelapa sawit tidak muncul dikalangan masyarakat petani. Salah satu alasan yang penting adalah karena membangun perkebunan kelapa sawit membutuhkan sumberdayamodal yang besar dan teknologi yang mahal. Sampai saat ini belum ditemukan suatu teknologi yang sederhana yang bisa digunakan oleh petani untuk memproses buah kelapa sawit menjadi minyak sawit yang siap untuk dipasarkan oleh petani.
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO- crude palm oil) dan inti kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Selama 14 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta ha, yaitu dari 606.780 ha pada tahun 1986 menjadi hampir 3 juta ha pada tahun 1999. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dari tahun 1985-1999. Areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta, mengalami pertumbuhan yang paling tinggi.

Gambar 1. Areal Perkebunan Kelapa Sawit
Menurut Kepemilikan, 1985-1999
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan dalam Casson (2000).
Seiring dengan bertambahnya luas perkebunan kelapa sawit, total produksi minyak kelapa sawit Indonesia meningkat tajam, yaitu dari 1,71 juta ton pada tahun 1988 menjadi 5,38 juta ton pada tahun 1997. Pada tahun 1998, sehubungan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, produksi minyak sawit turun menjadi 5 juta ton. Namun demikian, pada tahun 1999 produksinya kembali meningkat menjadi 5,66 juta ton. Nilai ekspor minyak sawit tertinggi dicapai pada tahun 1997, yaitu sebesar US$ 1,4 milyar, kemudian turun menjadi US$ 745 juta pada tahun 1998 (lihat Gambar 2). Penurunan nilai ekspor ini terutama disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor CPO dan/atau pengenaan pajak ekspor CPO yang sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan permintaan minyak kelapa sawit di dalam negeri.
Berkembangnya sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif. Terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR-Bun dan dalam perijinan pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. Pada tahun 1996, pemerintahan Suharto merencanakan untuk mengalahkan Malaysia sebagai eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan cara menambah luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dua kali lipat, yaitu menjadi 5,5 juta hektar pada tahun 2000. Separuh dari luasan perkebunan kelapa sawit ini dialokasikan untuk perusahaan perkebunan swasta asing. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terutama akan dibangun di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Irian Jaya. (Casson, 2000).
Gambar 2: Produksi Minyak Sawit (CPO),
Jumlah Ekspor dan Nilai Ekspor, 1990-1998
Sumber: BPS dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam Casson (2000)
Sementara pertumbuhan sub-sektor perkebunan kelapa sawit telah menghasilkan manfaat ekonomi yang penting, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit ternyata menyebabkan meningkatnya ancaman terhadap keberadaan hutan alam tropis Indonesia. Hal ini terjadi karena pengembangan areal perkebunan kelapa sawit utamanya dibangun pada areal hutan konversi (lihat Lampiran 1). Konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas (sekitar 30 juta hektar) sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 2000).
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Dirjen Perkebunan Deptan, menganggap bahwa peningkatan kesejahteraan petani pekebun di Indonesia dapat dicapai apabila lembaga terkait dan semua faktor produksinya digabungkan dalam suatu bentuk terpadu mulai dari penanaman sampai dengan pemasarannya. Melalui suatu studi kelayakan tahun 1974/1975, Pemerintah memutuskan untuk mengembangkan suatu proyek perkebunan rakyat melalui pemukiman daerah-daerah baru dengan dukungan perusahaan perkebunan negara sebagai intinya. Bentuk proyek ini disebut Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun) yang berasal dari terjemahan Nucleus Estate and Small-holder Development Project, disingkat NES-Project (Soetrisno dan Winahyu, 1991). Selanjutnya, melalui bantuan Bank Dunia sebagai sumber pendanaan proyek maka pada tahun 1977/1978 pemerintah membangun dua proyek PIR di dua propinsi, yakni Sumatera Selatan dan D.I. Aceh.
Tujuan dari model PIR-Bun ini tidak hanya terbatas pada pembangunan fisik kebun saja, tetapi lebih luas lagi yaitu membangun masyarakat pekebun yang berwiraswasta, sejahtera, dan selaras dengan lingkungannya yang dilaksanakan di wilayah bukaan baru yang pada akhirnya diharapkan terbentuknya petani modern. Secara konseptual, maka pengertian PIR-Bun adalah suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan, melalui sistem agribisnis yang dimulai dari penyediaan saprodi, produksi, pengolahan dan pemasaran hasil.
Khusus untuk pengembangan PIR kelapa sawit, maka pada awal pelita IV, pemerintah menciptakan dua jenis PIR-Bun baru, yakni Akselerasi Kelapa Sawit dan PIR Swasta Kelapa Sawit. Pada jenis PIR-Bun sebelumnya (PIR lokal, PIR khusus, PIR berbantuan, dan PIR trans), dana proyek disediakan oleh pemerintah. Sedangkan, pada proyek PIR Akselerasi Kelapa Sawit dan PIR Swasta Kelapa Sawit dibiayai terlebih dahulu oleh perusahaan inti.
Sampai akhir Desember 1988, luas areal PIR kelapa sawit di Indonesia adalah 142.425 ha, tersebar di 12 propinsi. Dari laus tersebut, 28 % (40.500 ha) terdapat di Propinsi Riau, menyusul Sumatera Utara 17 % (25,117 ha), Sumatera Selatan 14 % (20.000 ha), Jambi 8 % (11.402 ha), Kalimantan Barat 7,3 % (10.409 ha), dan Kalimantan Timur 5,9 % (8.435 ha). Jumlah pesertanya adalah sebanyak 15.000 KK (Soetrisno dan Winahyu, 1991). Proyek perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di Propinsi Papua (Irian Jaya) diprakarsai oleh PT. Hanrison Inti Persada yang berperan sebagai inti dengan melibatkan 5.650 KK petani sebagai plasma.
Proyek perkebunan kelapa sawit ini merupakan proyek PIR swasta baru yang meliputi luas areal 19.333 ha yang terdiri atas 8.033 ha kebun inti dan 11.300 ha kebun plasma (Hartono, S., 1999). Investasi dalam proyek perkebunan ini sebesar 231,79 Milyar dengan insentip investasi berupa pinjaman dari pemerintah sebesar Rp 107,64 Milyar atau 46,44 % dari total investasi.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Apakah proyek perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat memenuhi berbagai aspek kelayakan suatu proyek ?

1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui kelayakan proyek perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dilihat dari aspek pemasaran, teknis, manajemen operasional, ekonomis dan finansial.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Investasi

            Menurut William F. Sharfe, investasi adalah mengorbankan dollar sekarang untuk dollar di masa yang akan datang. Maksudnya ialah dengan mengorbankan uang/dollar dalam arti menanamkan sejumlah dana (uang) dalam suatu usaha saat sekarang dengan mengharapkan pengembalian investasi disertai tingkat keuntungan yang diharapkan di masa yang akan datang (dalam waktu tertentu). Jenis - jenis investasi antara lain :

1.    Investasi Nyata (real investment) ialah investasi yang dibuat dalam harta tetap (fixed asset) seperti tanah, bangunan, peralatan atau mesin-mesin.

2.    Investasi Finansial (financial investment) ialah investasi dalam bentuk kontrak kerja, pembelian saham atau obligasi atau surat berharga lainnya seperti sertifikat deposito.

 

2.2 Pengertian Proyek

            Secara umum proyek adalah kegiatan yang melibatkan berbagai sumber daya yang terhimpun dalam suatu wadah (organisasi) tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk melakukan kegiatan yang telah ditetapkan sebelumnya atau untuk mencapai sasaran tertentu. Kegiatan proyek biasanya dilakukan dalam bidang :

   Pembangunan fasilitas baru à kegiatan yang benar-benar baru untuk penambahan usaha baru.

   Perbaikan fasilitas yang sudah ada à merupakan kelanjutan dari usaha sebelumnya dengan adanya perbaikan yang diinginkan.

   Penelitian dan pengembangan à mengadakan penelitian terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat dan mengembangkannya dengan tujuan yang diharapkan.


Sebab Timbulnya Proyek

   Adanya Permintaan Pasar à adanya kebutuhan dari masyarakat yang perlu disediakan.

   Untuk meningkatkan kualitas produk à perlunya meningkatkan mutu produk karena tingginya tingkat persaingan.

   Kegiatan pemerintah à adanya kehendak pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas suatu produk dan jasa.


2.3 Pengertian Studi Kelayakan Bisnis

      Studi Kelayakan dapat dilakukan untuk menilai kelayakan investasi baik pada suatu proyek maupun bisnis yang sedang berjalan. Studi kelayakan yang dilakukan untuk menilai kelayakan sebuah proyek yang akan dijalankan disebut studi kelayakan proyek, sedangkan studi kelayakan yang dilakukan untuk menilai kelayakan dalam pengembangan sebuah usaha disebut studi kelayakan bisnis. Maksud layak atau tidak layak disini adalah perkiraan bahwa proyek yang akan dapat atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang layak bila telah dioperasionalkan.
            Studi Kelayakan Bisnis adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan. Ukuran kelayakan masing-masing jenis usaha sangat berbeda, misalnya antara usaha jasa dan usaha non jasa seperti pendirian hotel dengan usaha pembukaan perkebunan atau usaha peternakan dengan pendidikan. Akan tetapi aspek-aspek yang digunakan untuk mneytakan layak atau tidaknya adalah sama sekalipun bidang usahanya berbeda. Penilaian masing-masing aspek nantinya harus dinilai secara keseluruhan bukan berdiri sendiri-sendiri (Kasmir dan Jakfar, 2006).

Tahap-Tahap Dalam SKB
1.  Pengumpulan Data dan Informasi à mengumpulkan data dan informasi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif
2.  Melakukan Pengolahan Data à pengolahan data dan informasi dengan metode-metode yang lazim digunakan kemudian dicek ulang untuk memastikan kebenarannya
3.  Analisis Dataàuntuk menentukan  kriteria kelayakan untuk bisa digunakan secara umum dari seluruh aspek
4.  Mengambil Keputusanàmengambil keputusan terhadap hasil analisa yang dilakukan. Jika layak maka dapat direkomendasikan, jika tidak layak maka sebaiknya dibatalkan
5.  Memberikan Rekomendasiàmerekomendasikan kepada pihak-pihak yang berwenang. Rekomendasi sebaiknya disertakan saran-saran, perbaikan yang dibutuhkan dan kelengkapan dokumentasi.

Penetuan layak atau tidaknya suatu usaha dapat dilihat dari berbagai aspek. Ukuran kelayakan tiap proyek berbeda-beda berdasarkan jenis usahanya, namun mengacu pada aspek-aspek yang sama. Untuk melakukan penilaian terhadap aspek-aspek ini, perlu dibentuk suatu team yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai bidang keahlian.


Skema Aspek-Aspek Penilaian

Aspek-aspek penilaian tersebut adalah:
1.    Aspek pasar dan pemasaran
Dari aspek pasar dan pemasarannya kita perlu tahu persis, segmen pasar yang dituju oleh perusahaan, kita juga perlu tahu persis siapa-siapa pelanggan perusahaan serta kemungkinan risiko akibat ketergantungan perusahaan pada beberapa pelanggan saja, risiko menurunnya daya beli konsumen yang dituju, kemungkinan pengembangan pasar di masa yang akan datang, hambatan-hambatan pemasaran produk serta faktor-faktor pemasaran lainnya.

2.    Aspek teknis dan teknologi
a.       Masalah Manajemen Operasional
Adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan, organisasai, staffing, koordinasi, pengarahan dan pengawasan terhadap operasi perusahaan. Tugas manajemen operasional diperusahaan adalah untuk mendukung manajemen dalam rangka pengambilan keputusan masalah-masalah produksi/operasi.
Ada 2 masalah pokok yang akan di hadapi:
b.      Masalah penentuan posisi perusahaan.
Penentuan posisi perusahaan dalam masyarakat bertujuan agar keberadaan perusahaan sesuai dengan kebutuhan masyrakat, dan dapat dijalankan secara ekonomis efektif dan efisien. Oleh kaena itu, perlu diputuskan bagaimana hendaknya posisi perusahaan di  tentukan. Keputusan meliputi, antara lain meliputi penentuan produk yang akan di  tawarkan ke pasar, termasuk menentukan kualitasnya.
  1. Masalah operasional
Biasanya timbul pada saat proses produksi sudah berjalan. Untuk proses produksi yang menghasilkan jasa, keputusan pada masalah operasional ini adalah, rencana produksi, rencana persediaan bahan baku(komputer, koneksi internet, kabel data, listrik, dll) penjadwalan kerja proses produksi, pengawasan dan monitoring kualitas dan pengawasan biaya produksi.

3.    Aspek organisasi dan manajemen
Sedangkan dari aspek organisasi dan manajemen, kita perlu memiliki gambaran yang jelas mengenai kapasitas terpasang serta kapasitas normal perusahaan, kemungkinan pengembangan kapasitas produksi, teknologi serta risiko ketinggalan zaman dari teknologi, bahan baku dan sumbernya (komputer, koneksi internet, server dll) serta risiko habisnya bahan baku, kualitas serta kuantitas ketersediaan tenaga kerja, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan operasional perusahaan.
Demikian juga pemahaman akan industri sangatlah penting, paling tidak kita mengetahui sudah berada pada tahap mana produk perusahaan jika dipandang dari industrial life cycle nya. Karena dasar penilaian adalah proyeksi dan prediksi kondisi perusahaan di masa yang akan datang, maka kajian mengenai peluang dan ancaman yang berasal dari aspek makro harus pula mendapat perhatian khusus dalam proses valuation ini.
Manajemen dalam pembangunan proyek bisnis maupun manajemen dalam implementasi rutin bisnis adalah sama saja dengan manajemen lainnya. Yang berfungsi sebagai aktivitas-aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Pada sisi tingakatan manajemen, perencanaan bila di golongkan ke dalam tingkatan manajemen akan terbagi dua, yaitu perencanaan strategis dan perencanaan fungsional.


4.    Kelayakan aspek keuangan
Tujuan menganalisis aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang di harapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, seperti ketersediaan dana, biaya modal awal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakan proyek akan dapat berkembang terus.
a.       Penentuan aliran kas (cash flow)
Laporan perubahan kas (cash flow statement) disusun untuk menunjukkan perubahan kas selama satu periode tertentu serta memberikan alasan mengenai perubahan kas tersebut dengan menunjukkan dari mana sumber-sumber kas dan penggunaan-penggunaannya. Pada saat kita menganalisis perkiraan arus kas di masa datang, kita berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya, hasil perhitungan diatas kertas itu dapat menyimpang jauh dari kenyataannya. Ketidakpastian itu dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk development proyek tersebut dalam beroperasi untuk menghasilkan laba bagi perusahaan.
b.      Urutan prioritas
Apabila dijumpai beberapa proyek yang feasible atau layak untuk dilaksanakan, padahal hanya akan melaksanakan satu atau sebagian aja dari usulan-usulan itu karena keterbatasan sumber daya manusia dan dana, maka dapat dilakukan pengurutan prioritas (ranking) untuk menentukan usulan proyek yang paling layak. Dari hasil analisis terhadap elemen-elemen aspek keuangan nanti akan berupa suatu pernyataan apakah rencana bisnis dianggap layak atau tidak layak.
c.       Kajian mengenai biaya modal (Cost of Capital)
Cost of Capital bertujuan untuk menentukan berapa besar biaya riil dari masing-masing sumber dana yang akan di pakai dalam berinvestasi. Untuk menghitung keseluruhan dana yang di pakai, rincian analisis biaya dari sumber pembelanjaan ditentukan oleh:
  • Biaya utang
  • Biaya modal sendiri
  • Biaya laba yang ditahan
Dana pada kas akan dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan investasi sedangkan  operasional cash flow merupakan rencana pendanaan keluar-masuk arus kas jika proyek sudah dioprasionalkan.
2.4 Kegagalan Usaha dan Pencegahannya
Meskipun suatu proyek sudah melalui studi kelayakan bisnis yang sungguh-sungguh, namun resiko kegagalan usaha tetap saja dapat terjadi dikarenakan berbagai alasan.
Faktor-faktor penyebab kegagalan usaha:
-   Data dan informasi tidak lengkap à adanya ketidaklengkapan dan kepalsuan data.
-   Tidak teliti à adanya kecerobohan yang menyebabkan kesalahan.
-   Salah perhitungan à adanya kesalahan saat perhitungan ataupun rumus-rumus yang digunakan.
-   Pelaksanaan pekerjaan salah à adanya pekerja yang tidak mengerjakan proyek berdasarkan pedoman yang ditetapkan.
-   Kondisi lingkungan à adanya unsur0unsur yang tidak dapat dikendalikan.
-   Unsur sengaja à adanya kesalahan yang disengaja oleh peneliti dengan berbagai sebab. Hal ini sangat fatal.

Agar kegagalan usaha dapat dicegah, maka perlu memperhatikan beberapa hal.

Pencegahan kegagalan usaha:

   Kelengkapan serta keakuran data dan informasi yang diperoleh

   Tenaga ahli yang dimiliki benar-benar tangguh

   Penentuan metode dan alat ukur yang tepat

   Loyalitas team studi kelayakan bisnis


2.5 Lembaga-Lembaga yang Memerlukan Studi Kelayakan
a.    Pemilik Usahaàkarena mereka tidak mau dana yang mereka tanamkan mengalami kerugian
b.    Kreditoràkarena mereka tidak mau sampai kredit/pinjamannya tidak berjalan secara semestinya
c.    Pemerintahà untuk dapat meyakinkan mereka apakah bisnis yang dijalankan memberikan manfaat bagi perekonomian negara
d.   Masyarakat Luasàadanya tersediannya lapangan kerja, dibukanya fasilitas umum, dan terbukanya sebuah wilayah dari ketertutupan
e.    Manajemenà sebagai ukuran kinerja yang telah dicapai perusahaan dan melihat prestasi kerja manajemen yang menjalankan usaha.
2.6 Tujuan dan manfaat Studi Kelayakan Bisnis
1.Tujuan Studi Kelayakan Bisnis
Ada lima tujuan mengapa sebelum suatu usaha atau proyek dijalankan perlu dilakukan studi kelayakan (Kasmir dan Jakfar, 2006) yaitu :
a. Menghindari resiko kerugian
Resiko kerugian untuk masa yang akan datang yang penuh dengan ketidak pastian, dalam hal ini fungsi studi kelayakan untuk meminimalkan resiko  baik yang dapat dikendalikan maupun  yang tidak dapat dikendalikan.
b. Memudahkan Perencanaan
Perencanaan meliputi berapa jumlah dana yang diperlukan, kapan usaha akan dijalankan, dimana, bagaimana pelaksanaannya, berapa besar keuntungan yang akan diperoleh serta bagaimana mengawasinya jika terjadi penyimpangan.
c. Memudahkan Pelaksanaan Pekerjaan
Dengan rencana yang telah tersusun maka sangat memudahkan pelaksanaan bisnis, pengerjaan usaha dapat dilakukan secara sistematik.
d. Memudahkan Pengawasan
Dengan melaksanakan proyek sesuai rencana maka memudahkan untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha.
e. Memudahkan Pengendalian
Jika dapat diawasi maka jika terjadi penyimpanganakan muidah terdeteksi, sehingga mudah untuk mengendalikan penyimpangan tersebut.

2. Manfaat  Studi kelayakan Bisnis
Manfaat Studi kelayakan dapat dibedakan karena dua pihak yang berkepentingan atas studi kelayakan itu sendiri :
a.         Pihak Pertama (bagi analisis)
1.      Memberikan pengetahuan tentang cara berpikir yang sistematis (runtut) dalam menghadapi suatu masalah (problem) dan mencari jawabannya.(solusi)
2.      Menerpakan berbagai disiplin ilmu yang telah dipelajari sebelumnya dan menjadikannya sebagai alat bantu dalam penghitungan/pengukuran, penilaian dan pengambilan keputusan.
3.      Mengerjakan studi kelayakan berarti mempelajari suatu objek bisnis secara komprehensif sehingga penyusunannya akan mendapatkan pembelajaran dan pengalaman yang sangat berharga.
b.        Pihak kedua (bagi masyarakat)
1.    Calon Investor
Dalam menilai SKB, calon Investor lebih terkonsentrasi pada aspek ekonomis dan keuangan karena pada aspek inilah mereka dapat menentukan tingkat pengembalian modal (IRR), payback period, aliran kas dan tentunya proyeksi laba-rugi. Disini mereka juga dapat memperhitungkan return dan resiko yang mungkin dihadapi.
2.    Mitra penyerta modal
Calon Investor biasanya membutuhkan mitra penyerta modal baik perseorangan maupun perusahaan. Hasil studi kelayakan ini akan membantu calon investor dalam meyakinkan mitranya.
3.    Perbankan
Dalam proses persetujuan perkreditan dari bank diperlukan rekomendasi yang menyatakan bahwa proyek tersebut layak, maka diperlukan SKB
4.    Pemerintah
Penilaian Pemerintah terhadap studi kelayakan adalah biasanya yang menyangkut pada aspek legalitas dan perizinan.(izin prinsip dan izin operasional proyek).
5.    Manajemen Perusahaan
SKB untuk pengembangan bisnis baru akan berhububngan dengan pihak menajemen terutama direksi.
6.    Masyarakat
Acuan penilaian masyarakat terhadap suatu proyek atau bisnis biasanya yang menyangkut AMDAL (dampak lingkungan). Dan AMDAL ini biasanya untuk proyek-proyek besar.


BAB III
PEMBAHASAN

Dalam melakukan evaluasi finansial terhadap proyek ini dibatasi pada penggunaan kriteria investasi Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR), serta dengan melihat proyeksi neraca tahun demi tahun (Comparative Balance Sheets) dan daftar rugi laba (Income Statement). NPV dari arus benefit dan biaya merupakan selisih present value arus benefit dengan present value arus biaya, atau secara ringkas adalah:
dimana, Bt adalah benefit sosial bruto proyek pada tahun t; Ct adalah biaya sosial bruto sehubungan dengan proyek pada tahun t; n adalah umur ekonomis proyek; dan i adalah social opportunity cost of capital yang digunakan sebagai social discount rate (Gray, C., dkk., 1997).
Kriteria NPV 0, berarti suatu proyek dapat dinyatakan bermanfaat untuk dilaksanakan bila net present value proyek tersebut sama atau lebih besar dari nol. Jika NPV sama dengan nol berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital. Selanjutnya, perhitungan IRR dilakukan dnegan interpolasi atau ekstrapolasi, yaitu dengan menghitung discount rate baru berdasarkan kedua perhitungan i1 dan i2 atau secara ringkas:
Jika IRR sama dengan social discount rate (i), maka NPV proyek itu sama dengan nol. Jika IRR lebih kecil dari i, berarti NPV lebih kecil dari nol. Oleh karena itu, nilai IRR yang sama atau lebih besar dari i menyatakan tanda “go project”, sedangkan nilai IRR yang lebih kecil dari nol memberikan tanda “no go project”.
Disini yang akan di bahaas adalah salah satu perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yaitu proyek perkebunan kelapa sawit yang dikembangkan di Propinsi Papua (Irian Jaya) diprakarsai oleh PT. Hanrison Inti Persada. Dimanaperkebunan ini berperan sebagai inti dengan melibatkan 5.650 KK petani sebagai plasma. Proyek perkebunan kelapa sawit ini merupakan proyek PIR swasta baru yang meliputi luas areal 19.333 ha yang terdiri atas 8.033 ha kebun inti dan 11.300 ha kebun plasma (Hartono, S., 1999). Investasi dalam proyek perkebunan ini sebesar 231,79 Milyar dengan insentip investasi berupa pinjaman dari pemerintah sebesar Rp 107,64 Milyar atau 46,44 % dari total investasi.

3.1 Analisis Studi Kelayakan Perkebunan Kelapa Sawit
1. Aspek Pasar dan Pemasaran
Sampai saat ini, sekitar 70 negara di dunia telah menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku industri pangan maupun non pangan. Pemakai dengan jumlah antara 100 – 200 ribu ton sebanyak 21 negara, sedangkan yang memakai lebih dari 200 ribu ton ada 12 negara. Di antara negara-negara pemakai minyak tersebut, India merupakan negara pemakai terbesar, yakni 1.045 ribu ton pada tahun 1988, disusul oleh Indonesia, Nigeria, Malaysia, RRC dan Pakistan. RRC yang biasanya mengkonsumsi minyak kedelai, pada tahun 1988 mengkonsumsi minyak sawit sebesar 435 ribu ton. Iklim yang tidak mendukung bagi produksi kedelai serta penduduk RRC yang sangat padat, cukup potensial bagi pasar minyak sawit Indonesia (Soetrisno dan Winahyu, 1991).
Minyak sawit bukanlah produk akhir, melainkan merupakan input antara (intermediate input) untuk berbagai macam produk industri. Oleh karena itu, permintaannya sangat dipengaruhi oleh harga maupun pasokan dari minyak lain yang menjadi substitusinya. Pasokan minyak kelapa yang tidak stabil dan harga minyak sawit yang cenderung lebih rendah telah menyebabkan minyak sawit sebagai pemasok utama kebutuhan minyak nabati dalam negeri beberapa tahun belakangan ini. Minyak sawit ini terutama digunakan dalam industri minyak goreng, sabun dan margarine, serta industri kimia lain yang jumlahnya masih relatif kecil.
Kapasitas terpasang dari 35 pabrik pengolahan minyak goreng yang menggunakan minyak sawit mencapai 2,88 juta ton crude palm oil (CPO) per tahun atau 173 % di atas kapasitas yang diizinkan oleh pemerintah. Sedangkan, kemampuan produksi total CPO masih di bawah 1,5 juta ton. Terbatasnya pasokan CPO juga menyebabkan proses diversifikasi vertikal industri minyak sawit Indonesia sangat lamban. Padahal, prospek pasar bagi produk non minyak goreng dari bahan baku minyak dan inti sawit sangat baik. Pasar dunia untuk gliserine dan PVC stabilizer umpamanya sangat terbuka, karena permintaan yang cukup besar di pasar dunia terhadap kedua produk tersebut. Rusia membutuhkan gliserine minimal 500 ton setiap bulan atau 6.000 ton per tahun. Sedangkan, Jepang membutuhkan PVC stabilizer 3.500 ton per bulan (Budiman dalam Soetrisno dan Winahyu, 1991). Prospek industri minyak sawit Indonesia dapat menjadi lebih cerah bila para industriawan Indonesia mau dan mampu memanfatkan keragaman produk yang terkandung dalam minyak sawit, dengan terlebih dahulu dilakukan pembenahan masalah pasokan CPO oleh pemerintah.
Negara produsen utama minyak sawit dunia adalah Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, kelapa sawit merupakan sumber devisa negara, karena sebagian besar produksinya diekspor, sementara bagi Indonesia dan Nigeria, kelapa sawit terutama digunakan untuk keperluan dalam negeri, sehingga ekspornya merupakan sisa dari konsumsi dalam negeri. Singapura yang bukan negara produsen minyak sawit ternyata punya andil cukup besar dalam ekspor dunia. Hal ini berarti pabrik-pabrik pengolahan yang ada di Singapura mengekspor minyak sawit yang diimpor dari Malaysia maupun Indonesia. Dari segi komoditas, kompetitor utama minyak sawit adalah minyak kedelai, sedangkan dari negara yang memproduksi minyak sawit, kompetitor minyak sawit Indonesiaadalah Malaysia. Namun demikian, Indonesia memiliki comparative advantage dari segi biaya produksi minyak nabati terkemuka. Hal ini karena kelapa sawit tergolong tanaman keras tropika, sedangkan penghasil minyak nabati lainya adalah tanaman semusim. Secara rinci hal ini bisa dilihat pada Tabel 1.
Terkait dengan strategi pemasaran produk olahan kelapa sawit yang dihasilkan PT. Henrison Inti Persada, maka perlu ditetapkan jenis produk yang dipasarkan, harga dan syarat penjualan, distribusi, dan penetapan pajak penjualan. Jenis produk yang dipasarkan adalah minyak sawit dan inti sawit hasil olahan dari tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan sendiri dan yang dibeli dari plasma. Distribusi pemasaran minyak sawit (CPO) ditetapkan 70 % untuk tujuan ekspor dan 30 % untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sedangkan inti sawit seluruhnya dipasarkan di dalam negeri. Harga yang ditetapkan untuk minyak sawit ekspor minimal sebesar Rp 1.288/kg, sedangkan untuk pasaran lokal (domestik) Rp 1.000/kg. Harga inti sawit untuk pasar lokal Rp 720/kg dan harga ekspor Rp 627,51/kg. Pajak yang dikenakan terhadap penjualan produk olahan kelapa sawit dibedakan antara pajak ekspor dan pajak penjualan lokal. Dalam hal ini, diproyeksikan pajak ekspor sebesar 14 % dari jumlah hasil ekspor, sedangkan pajak penjualan lokal sebesar 10 % dari jumlah hasil penjualan lokal.

2. Aspek Teknis dan Teknologis
Membangun perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan teknologi budidaya dan pengolahan yang canggih harus memperhitungkan kapasitas produksi yang ekonomis sehingga investasi di subsektor ini benar-benar dapat memberikan manfaat di kemudian hari. Pendirian pabrik yang mencakup mesin-mesin dan peralatannya dengan kapasitas standar tertentu yang dari hasil penelitian telah memiliki skala produksi yang optimal telah tersedia di pasaran. Selanjutnya, pihak pemrakarsa proyek tinggal menyesuaikan luasan kebun kelapa sawit yang harus dibangun. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa satu unit pabrik dapat memproses 30 ton TBS/jam, dan dapat diperluas menurut kelipatannya. Pada proyek ini, ditetapkan pembangunan pabrik secara bertahap, dimulai dengan kapasitas 30 ton TBS/jam pada tahun ke-4, kemudian diperluas menjadi 60 ton TBS/jam pada tahun ke-5 dan meningkat menjadi 90 ton TBS/jam pada tahun ke-6, dengan mempertimbangkan produksi TBS yang dihasilkan oleh perusahaan inti dan plasma.
Produksi minyak sawit dan inti sawit diperhitungkan berdasarkan rendemen terhadap TBS dari masing-masing inti dan plasma. Kapasitas terpasang pada tahun ke-5 dan ke-6 sebesar 30 ton TBS/jam, selanjutnya 60 ton TBS/jam pada tahun ke-7, dan 90 ton TBS/jam mulai tahun ke-8 sampai proyek ini berakhir pada tahun ke-25. Dalam hal ini, jumlah jam kerja per hari adalah 7 jam dengan kemungkinan jam kerja lembur 2-3 jam per hari tergantung pasokan TBS ke pabrik. Sedangkan jumlah hari kerja per bulan sebanyak 25 hari.
Teknologi yang canggih tidak hanya dibutuhkan dalam pemrosesan minyak sawit, namun juga dibutuhkan dalam pengolahan kebun dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit. Sehingga model PIR-Bun seperti yang diprakarsai oleh PT. Henrison Inti Persada sangat tepat diterapkan dalam pengembangan kelapa sawit di Indonesia termasuk di Propinsi Papua. Bahan baku yang diproses untuk mengahsilkan minyak sawit dan inti sawit adalah TBS yang dihasilkan dari kebun inti dan kebun plasma. TBS yang diproduksi dari kebun plasma dibeli oleh inti dengan harga yang telah ditetapkan dan disepakati kedua belah pihak antara inti dan plasma. Dalam pemrosesan TBS menjadi minyak sawit dan inti sawit tidak memerlukan bahan penolong yang spesifik, tetapi yang terpenting adalah adanya sumber air di lokasi pabrik.
Lokasi proyek perkebunan kelapa sawit dengan model PIR-Bun adalah pada areal bekas HPH (hak pengelolaan hutan di Propinsi Papua (Irian Jaya). Daerah bekas HPH dipilih sebagai lokasi proyek dengan pertimbangan, bahwa opportunity cost of land-nya sama dengan nol, karena tanaman di atas areal tersebut terdiri atas semak belukar yang nilainya dianggap nol.
Seluruh waktu yang diperlukan untuk membangun proyek ini adalah sebagai berikut: investasi kebun inti dan plasma dimulai dari tahun ke-1 hingga tahun ke-8. Tahun ke-1 hingga 4 merupakan masa pra operasi dan mulai tahun ke-5 proyek sudah dapat beroperasi hingga proyek berakhir. Jadwal investasi kebun inti disajikan pada Tabel 2. Sedangkan program pembangunan kebun inti dan plasma dapat disajikan pada Tabel 3.
3. Aspek Manajemen Operasional
Untuk mengelola perkebunan kelapa sawit ini akan diperlukan berbagai macam tenaga pimpinan dan tenaga inti dengan berbagai macam keahlian. Sebagai pimpinan operasional puncak akan diperlukan seorang manajer umum atau General Manager (Sutoyo, S., 1996). Dalam proyek ini sebagai pimpinan operasional puncak adalah pemimpin proyek (Pimpro). Pejabat ini harus menguasai segi teknis, pemasaran dan finansial proyek. Guna menjamin kelancaran operasional, maka pada proyek ini akan diperbantukan seorang manajer, dalam hal ini Pemimpin Kebun. Pejabat ini akan membawahi tiga kompartemen, yakni :
1)        Asisten Kepala yang membawahi asisten-asisten komponen kebun;
2)        Kepala Kantor (Administrasi) yang membidangi administrasi seluruh komponen proyek;
3)        Masinis Kepala yang bertanggungjawab terhadap komponen pabrik. Di bawah Masinis Kepala terdapat Teknolog Kepala yang akan membawahi Asisten Teknolog, Asisten Pabrik, dan Asisten Laboratorium. Di bawah asisten terdapat Pegawai Bulanan dan Pegawai Harian.
Jenis dan jumlah tenaga kerja inti yang dibutuhkan disesuaikan dengan rencana penempatan pegawai kebun dan pekerja pabrik dengan standar gaji pegawai kebun inti dan pabrik yang telah ditetapkan dalam proyek ini. Kegiatan operasional sehari-hari dilaksanakan oleh Pemimpin Kebun yang akan bertanggung jawab kepada Pemimpin Proyek.

4. Aspek Finansial
Dana investasi yang dibutuhkan untuk membangun Proyek Perkebunan Kelapa Sawit ini sebesar Rp 231,79 Milyar yang akan dialokasikan untuk membangun kebun inti sebesar Rp 102,68 Milyar dan Kebun Palsma Rp 129,11 Milyar. Dalam studi ini, diasumsikan bahwa untuk membiayai pembangunan dan operasi perkebunan akan diperoleh dua macam sumber pembiayaan, yaitu:
(1) Modal sendiri (Equity Capital) dari PT. Henrison Inti Persada,
(2) Modal berupa kredit investasi dan modal kerja dari pemerintah melalui mekanisme DIPP.
Perbandingan antara pinjaman dan modal sendiri (debt/equity ratio) yang disarankan adalah 46/54 dengan tujuan untuk menekan jumlah biaya pinjaman selama tahun-tahun pertama operasi. Jumlah pinjaman yang terlalu besar dibandingkan dengan modal sendiri akan mengakibatkan beban bunga yang terlalu berat, sehingga dapat membahayakan likuiditas maupun profitabilitas perusahaan pengelola proyek. Kredit investasi dalam negeri diasumsikan diperoleh dalam jangka waktu pinjaman 13 tahun dengan masa tenggang pembayaran kembali selama empat tahun. Biaya pinjaman berupa bunga dibedakan antara pinjaman untuk perusahaan inti dan pinjaman untuk plasma. Bunga pinjaman untuk inti diharapkan sebesar 18 % per tahun dan untuk plasma sebesar 14 % per tahun. Pembayaran kembali pinjaman berupa angsuran pokok (principle) dan bunga (interest) selama 9 tahun setelah masa tenggang dengan cara mencicil menurut waktu pencairan pinjaman. Biaya operasional tahunan dihitung untuk mempermudah para pemrakarsa dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengkaji prospek finansial perkebunan kelapa sawit ini di masa mendatang. Dalam menghitung biaya oparasional tahunan ini digunakan asumsiasumsi:
1)        Harga-harga bahan baku dan penolong pada dasarnya tidak akan berubah secara berarti;
2)        Hal yang serupa berlaku untuk upah langsung, gaji, dan biaya overhead;
3)        Harga jual minyak dan inti sawit tidak akan berubah secara berarti;
4)        Inflasi dalam negeri akan mempengaruhi harga jual produk dan biaya langsung secara sepadan.
Perhitungan NPV dan IRR melalui media komputer untuk perusahaan inti dan plasma berturut-turut didasarkan pada anggaran kebun inti dan plasma. NPV pada discount factor (DF) sebesar 18 % berdasarkan anggaran kebun inti selama umur proyek diperoleh sebesar negatip Rp 1.979,88 juta, yang berarti nilai bersih (net benefit) yang diterima proyek selama 25 tahun mendatang nilainya sekarang sebesar negatif Rp 1.979,88 juta. Sedangkan, kemampuan proyek untuk mengembalikan modal yang diukur berdasarkan IRR sebesar 17,16 %. Kalau proyek perkebunan ini hanya memperhatikan nilai kriteria NPV dan IRR ini tanpa meninjau kembali faktor besarnya harga produk (terutama harga ekspor CPO) dan besarnya biaya investasi, maka proyek ini bukanlah merupakan suatu competitive investment, sehingga rencana proyek tersebut sebaiknya tidak perlu dilaksanakan. Karena IRR yang lebih kecil dari social discount rate (18 %) akan tidak memberikan insentif yang cukup menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya pada proyek tersebut. Sehingga, lebih baik mereka memilih alternatif investasi lain yang bisa memberi manfaat yang lebih baik di masa mendatang.

3.2 Analisis Investasi Perkebunan Kelapa Sawit
1. Biaya dan Manfaat Bagi Perusahaan
Semua biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima oleh perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan proyek perkebunan kelapa sawit diidentifikasi dan dicatat secara rinci, setiap tahun, selama umur proyek. Aliran kas terdiri dari aliran pengeluaran (outflow), yaitu semua biaya per tahun, dalam nilai uang, yang dikeluarkan oleh perusahaan selama pelaksanaan kegiatan, dan aliran penerimaan (inflow), yaitu semua penerimaan per tahun, dalam nilai uang, yang diterima oleh perusahaan dari pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit, yaitu dari tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-28. Total biaya per tahun untuk pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit merupakan penjumlahan dari semua pengeluaran dalam kurun waktu satu tahun tertentu, untuk melaksanakan kegiatan tertentu, sesuai dengan jadual pelaksanaan kegiatan. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan proyek di antaranya adalah biaya untuk:
1)        Mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan kelapa sawit,
2)        Investasi tanaman kelapa sawit,
3)        Pemeliharaan tanaman,
4)        Pemanenan TBS,
5)        Pemupukan,
6)        Pengangkutan TBS ke pabrik pengolahan,
7)        Investasi pembangunan pabrik,
8)        Biaya pengolahan TBS menjadi CPO dan KPO,
9)        Biaya pengangkutan CPO dan KPO dari lokasi PKS ke pelabuhan ekspor,
10)    Biaya overhead, dan
11)    Biaya depresiasi.
Pengeluaran biaya proyek dimulai dari tahun ke-0, yaitu mulai dari tahapan pengurusan ijin HGU dan pembukaan lahan; biaya pada tahun ke-1 berupa biaya investasi tanaman kelapa sawit, dan berbagai pengeluaran biaya lainnya, sesuai dengan rencana kegiatan proyek sampai dengan tahun ke-28.
Total manfaat per tahun yang diterima dari pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit merupakan penjumlahan dari semua penerimaan dalam kurun waktu satu tahun tertentu, selama jangka waktu umur kegiatan. Penerimaan dalam nilai uang, diperoleh dari hasil penjualan CPO dan KPO yang dijual di pasar domestik maupun yang diekspor. Tanaman kelapa sawit baru mulai menghasilkan TBS pada tahun ke-4 (gestation period 3tahun), sehingga penerimaan proyek dari hasil penjualan CPO dan KPO baru mulai dihasilkan pada tahun ke-4, kemudian terus berlanjut sampai dengan tahun ke-28.
Selanjutnya, dari hasil analisis data yang disajikan pada Lampiran 4 diketahui bahwa penerimaan total perusahaan yang berasal dari penjualan CPO dan KPO, mulai tahun ke-4 sampai dengan tahun ke-28, kisaran nilainya sebesar US$ 105 – $3.718/ha/tahun. Dengan total biaya produksi selama jangka waktu umur kegiatan yang berkisar antara: US$ 478 - $1353/ha/tahun.

6.2. Analisis Finansial Investasi Perkebunan Kelapa Sawit
Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu dilaksanakan layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Dalam mengambil keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan, sangat penting untuk turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang relevan dan atau benar terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan.
Kelayakan finansial suatu kegiatan ditunjukan oleh nilai NPV (net present value), B/C ratio (Benefit-Cost Ratio), atau IRR (Internal Rate of Return). Nilai NPV, B/C ratio dan IRR sesungguhnya saling berhubungan satu sama lainnya. Suatu kegiatan dikatakan layak secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai NPV-nya positif. Bila NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari satu, dan nilai IRR-nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Jadi, salah satu dari ketiga nilai tersebut dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial.
Dalam studi ini, kelayakan finansial ditunjukkan oleh nilai NPV. Bila keseluruhan manfaat yang dihasilkan selama jangka waktu umur kegiatan lebih besar daripada keseluruhan biaya investasi, maka nilai NPV positif. Artinya, kegiatan secara finansial layak untuk dilaksanakan karena dapat memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial, dengan tingkat suku bunga diskonto (discount rate) sebesar 10%, proyek perkebunan kelapa sawit skala besar (10.000 ha) memberikan nilai NPV sebesar US$ 72,62 juta (dan nilai IRR sebesar 26,35%).
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit skala besar secara finansial sangat menguntungkan. Seperti telah dikemukakan, sesungguhnya sebelum investasi perkebunan kelapa sawit dimulai, (grup) perusahaan telah menerima keuntungan besar berupa kayu IPK yang berasal dari kegiatan pembukaan lahan hutan konversi. Nama perusahaan yang memperoleh IPK dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan biasanya berbeda dengannama perusahaan yang akan membangun perkebunan kelapa sawit.

BAB IV
KESIMPULAN

4.1    Studi Kelayakan mempunyai arti penting bagi perkembangan dunia usaha. Beberapa proyek gagal di tengah jalan, bisnis yang berhenti beroperasi, dan kredit yang macet di dunia perbankan, serta kegagalan investasi lainnya merupakan bagian dari tidak diterapkannya studi kelayakan secara konsisten.
4.2    Pembangunan proyek perkebunan kelapa sawit di Indonesai terutama Propinsi Papua yang diprakarsai oleh PT. Henrison Inti Persada merupakan rencana investasi yang layak terutama didasarkan atas analisis finansial, di samping didukung pula oleh aspek pemasaran, teknis, manajemen operasional, dan aspek ekonomis (sosial).
4.3    Proyek perkebunan kelapa sawit di Propinsi Papua ini menunjukan kepekaan (sensitivity) yang tinggi (terutama pada kebun inti) bila dilihat dari nilai IRR sama dengan 18,07 % yang hanya sedikit lebih besar terhadap social discount rate 18 %. Tetapi, pada kebun plasma proyek ini tidak begitu sensitif, karena IRR yang besarnya 22,37 % jauh lebih besar daripada social discount rate yang disarankan sebesar 14 %.
4.4    Studi kelayakan yang diterapkan secara benar akan menghasilkan laporan yang komprehensif tentang kelayakan proyek atau bisnis yang akan didirikan atau dikembangkan atau didanai dan kemungkinan-kemungkinan resiko yang akan dihadapi atau terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Djamin, Zulkarnain. 1993. Perencanaan dan Analisis Proyek. Jakarta:mLembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Kodoatie, R. 1994. Analisis Ekonomi Teknik. Yogyakarta: Andi.
Soetrisno, L. dan R. Winahyu. 1991. Kelapa Sawit: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
Sutojo, Siswanto. 1996. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Sapdodadi.
Manurung, E. G. Togu. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Jakarta.
Jurnal :
Budiasa, I Wayan. Studi Kelayakan Proyek Perkebunan Kelapa Sawit. Denpasar: Universitas Udayana, diakses tanggal 9 Juni 2011.

27

Lihat komentar

    Memuat